Sunday, February 10, 2008

Alhamdulillah...

Dalam sebuah pertemuan rutin pekanan, salah seorang kawanku yang baru saja menyempurnakan setengah diennya dengan melangsungkan pernikahan bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Dia bercerita bahwa dia sangat kurang sreg dengan isteri yang dia dapatkan. Alasannya, karena sang isteri tidak masuk dalam criteria dambaannya. Dalam ceritanya, dia menginginkan sosok seorang isteri yang cantik jelita, indah dipandang dan tidak membosankan. Baik ibadahnya, tutur katanya, dan sopan santunnya. Serta sosok seorang istri yang bisa mandiri tatkala sang suami tidak ada di rumah. Namun, tidak semua criteria ada di dalam diri isterinya.
Aku yang mendengarkan tidak menyalahkan kriteria yang dibuat temanku ketika dia mencari pendamping hidup. Namun, sikap kecewa terhadap jodoh yang diberikan Allah SWT itu yang aku permasalahkan. Aku teringat dengan ucapan seorang kawan, “mas, kita boleh saja menginginkan sosok wanita pendamping hidup kita memiliki wajah yang cantik, baik budinya, baik ibadahnya, taat kepada suami, kaya dan memiliki kedudukan seperti Ummul Mu’minin Khadijah dan Aisyah. Tapi mas… kita juga harus sadar bahwa kita bukanlah Muhammad yang memiliki kesempurnaan akhlaq…”.
Yup! Benar apa yang disampaikan kawanku tadi, mempunyai criteria dalam memilih calon pendamping adalah hak asasi manusia yang artinya setiap manusia memiliki hak untuk melakukannya. Tetapi yang harus diingat dan disadari adalah apakah kriteria yang kita inginkan sama kualitasnya dengan yang ada dalam diri kita. Ingat lho… kita bukan baginda besar nabi Muhammad Saw, kita hanya sosok manusia biasa. Karena kita sosok manusia biasa bukan Muhammad Saw, maka standar atau kriteria calon pendamping kita juga harus distandarisasi sesuai dengan diri kita. Boleh kita mencantumkan kriteria seperti yang ada dalam diri Khadijah ataupun yang ada dalam diri Aisyah. Tapi kalau dapatnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan jangan berkecil hati ataupun kecewa, toh… kita kan masih jauh di bawah nabi Muhammad Saw.
Selintas aku teringat cerita seorang ustadz yang bercerita bagaimana dia menjalani kehidupan rumah tangganya. Beliau menceritakan proses demi proses yang dia jalani mulai dari masa ta’aruf, khitbah, walimah bahkan sampai masa-masa dimana beliau mengarungi pernikahan bersama istrinya. Beliau menceritakan bagaimana ujian yang berat beliau hadapi ketika masuk dalam tahap ta’aruf. Dalam proses ta’aruf beliau merasa kurang merasa sreg dengan calonnya. Tapi dia tidak langsung menjawab iya atau tidak dalam proses tersebut, dia kembalikan semuanya kepada Allah agar diberikan yang terbaik. Keputusan final yang didapat adalah dia meneruskan proses dengan calon tersebut. Dan jawaban yang diberikan Allah kepadanya untuk terus dalam prosesny, dia rasakan sebagai jawaban yang terbaik karena dia merasa sangat cocok dengan calon tersebut yang sekarang menjadi isterinya.
Ustadz tersebut memberikan kunci atau tips mengapa dia bisa mengarungi pernikahannya dengan bahagia walau diawal dia merasa kurang sreg dengan calonnya. Tips yang diberikan adalah untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita, itu saja. Beliau menambahkan kalau kita sudah mensyukuri satu nikmat yang Allah berikan kepada kita nisya nikmat-nikmat yang lain juga akan diberikan kepada kita. Tetapi, kalau diawal kita sudah tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita maka Allah akan menutup nikmat-nikmat-Nya yang lain.
So… bagi anda yang tengah merencanakan untuk menyempurnakan setengah dien, pahami bahwa anda bukanlah Muhammad Saw dan juga bukan Khadijah ataupun Aisyah. jadi jangan terlalu tinggi dalam membuat standar untuk calon pasangan anda. Kita ini manusia biasa dan tidaklah sempurna, tetapi dengan ketidaksempurnaan ini semuanya bisa menjadi indah kalau kita bisa mensyukurinya.

No comments: