Saturday, May 26, 2007

Bilal bin Rabah

Kisah ini bermula dari pertemuan antara Bilal dengan Abu Dzar di sebuah lorong di kota Mekah. Ketika itu Bilal sedang berkeliling menyusuri jalan di kota mekah, kemudian bertemu dengan Abu Dzar. Ketika bertemu, Abu Dzar memanggil Bilal dengan berkata: “Ya Ibnul aswad...! (wahai anak hitam)”. Mendengar panggilan dari Abu Dzar tidak lantas Bilal langsung menjawab atau menoleh ke arah Abu Dzar. Tetapi yang dilakukan Bilal bin Rabah hanya terdiam dan tertunduk.
Setelah kejadian tersebut Bilal langsung menemui Rasulullah di rumah. Sesampainya di rumah Rasul, Bilal mengetuk pintu dan mengucapkan salam : “Assalamu’alaikum ya Rasulullah...”. Rasul yang mendengar ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Rasul pun membalas salam tersebut dan mempersilahkan masuk. Ketika bilal masuk dan dipersilahkan duduk oleh Rasul, Rasul heran melihat raut wajah bilal yang lain dari biasanya karena beliau melihat wajah kesedihan. Melihat itu, Rasul pun bertanya: “apa yang menyebabkan engkau terlihat tampak sedih wahai bilal...”. bilal pun menjawab: “Ya Rasul... sebelum saya ke rumah Anda, saya bertemu dengan sahabat Abu Dzar. Ketika kami bertemu, Abu Dzar memenggil saya dengan panggilan : “Ya Ibnul Aswad...!” saya sadar ya Rasul, bahwa saya ini hitam. Saya juga sadar bahwa kedua orang tua saya juga hitam. Dan saya juga sadar bahwa saya berasal dari daerah yang mayoritas penduduknya adalah berkulit hitam. Tetapi sungguh ya Rosul, saya tidak ingin dipanggil seperti itu”.
Rasul yang mendengar cerita tersebut mengerti mengapa Bilal tampak sedih. Maka Rasul berkata: “ Wahai Bilal, cari Abu Dzar dan katakan bahwa Rasulullah ingin bertemu dengannya”. Mendengar itu, bilal pun mencari Abu Dzar dan mengabari pesan dari rasul. Setelah mendengar kabar dari Bilal, Abu Dzar langsung ke rumah Rasul untuk memenuhi panggilannya. Sesampainya di rumah Rasul, Abu dzar mengetuk pintu dan memberi salam dan dijawab oleh Rasul. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk oleh Rasul, Rasul pun bertanya ;” Wahai Abu Dzar, apa benar engkau tadi bertemu dengan Bilal?, “Benar ya Rasul”, Kata Abu Dzar. “Apa Benar engkau memangginya denga Ibnul Aswad...?, “Benar Ya Rasul” kata Abu Dzar. Rasul pun lantas berkata “ Sesungguhnya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah, dan sekarang minta maaflah kepada Bilal karena saat ini dia sedang sakit hati karena ucapanmu”.
Setelah dialog tersebut, Abu Dzar langsung memenuhi perintah dari Rasul. Dicarinya Bilal oleh Abu Dzar dan ternyata ada di rumahnya. Abu dzar memeberikan salam dan di balas oleh Bilal. Abu Dzar pun lantas meminta maaf kepada Bilal sambil mengatakan, “ Sebagai ganti atas penghinaan yang aku lakukan kepadamu, maka injaklah kepalaku sebagai ganti atas penghinaanku”. Mendengar itu, bilal berkata “ Wahai sahabatku, mana mungkin aku berani menginjak kepala seorang hamba yang senantiasa bersujud kepada Tuhannya.”

Hikmah
Jaga Lisan (Hifzhul Lisan)
Allah ketika memberikan kepada kita Nikmat kemampuan berbicara, memiliki 2 tujuan. Yaitu sebagai nikmat dan ujian kepada kita. Untuk itu hendaknya kita jaga nikmat tersebut dengan menggunakan sebaik-baiknya dengan cara berdzikir kepada Allah dengan cara membaca ayat ayatnya, baik qauliyah maupun kauniyah. Dan juga kita gunakan untuk berkata yang baik. Allah SWT sangat melarang kita untuk berkata yang tidak baik atau bahkan menggunakan lisan kita untuk menghina orang lain.
Dalam surat Al Hujurat ayat 11 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Dalam cerita di atas, rasul pun juga keras mengingatkan Abu Dzar ketika tahu bahwa abu Dzar telah menghina Bilal dengan mengatakan “ Sesungguhnya di dalam dirimu ada sifat jahiliyah”. Mungkin maksud dari Abu Dzar untuk mengakrabkan diri dengan Bilal namun, kenyataannya bukanlah keakraban yang didapat tetapi sakit hati bilal yang didapat.
Kita mungkin sering melakukan seperti yang dilakukan oleh Abu Dzar, kita mungkin sering menganggap apa yang kita lakukan untuk mengakrabkan diri dengan kawan kita. Memang kelihatan secara fisik kita akrab dengan kawan kita tetapi sengguhnya ikatan persahabatan yang didasari ikatan hati tidaklah terbentuk. Malah yang terbentuk adalah sebuah persahabatan yang semu, yang kalau kita lagi senang dan berada di puncak kejayaan, teman kan sayang Tetapi kalau kita susah dan jatuh bangkrut, kita dibuang. Untuk itu mari kita renungi hadits berikut: ” Barang siapa yang beriman kepada hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”.



Ketaatan kepada rasul
Dalam cerita tersebut ada ketaatan seorang Abu dzar yang bisa kita tiru. Ketaaatan tersebut bisa kita tiru dalam dialog antara Abu dzar dan Rasul. Dalam cerita tersebut Rasul bertanya:” Wahai Abu Dzar, apa benar engkau tadi bertemu dengan Bilal?, “Benar ya Rasul”, Kata Abu Dzar. “Apa Benar engkau memangginya denga Ibnul Aswad...?, “Benar Ya Rasul” kata Abu Dzar. Rasul pun lantas berkata “ Sesungguhnya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah, dan sekarang minta maaflah kepada Bilal karena saat ini dia sedang sakit hati karena ucapanmu”.
Mendengar ucapan dan perintah rasul, Abu Dzar tidak menjawab dengan memberikan alasan alasan klasik, tetapi yang dilakukan Abu dzar hanya Sami’na Wa Ato’na (mendengar dan taat). Inilah keistimewaan generasi para sahabat, mereka sangat taat kepada rasulnya. Karena ketaatan dan keimanan mereka, Allah sampai memuji mereka dengan menurunkan suatu ayat yaitu dalam surat Ali imron ayat 110:


Keikhlasan
Dalam cerita tersebut ada unsur keikhlasan, ikhlas untuk meminta maaf d an ikhlas untuk memberi maaf. Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang sangat sulit dilakukan ketika dua pihak berseteru. Hal ini dikarenakan ego yang ada dalam diri mereka. Dalam cerita tersebut bagaimana kita saksikan keikhlasan Abu Dzar untuk meminta maaf dan keikhlasan Bilal untuk memaafkan. Ikhlasnya Bilal terlihat dari ucapan bilal ketika dipersilahkan oleh abu dzar untukj menginjak kepalanya. Tetapi yang dilakukan Bilal hanya berkata: “Wahai sahabatku, mana mungkin aku berani menginjak kepala seorang hamba yang senantiasa bersujud kepada Tuhannya.”
Subhanallah... seandainya bilal mau menginjak kepala Abu dzar, tentu dia bisa dengan mudah menginjaknya, tetapi yang dilakukan bilal tidak mau menginjak kepala Abu Dzar karena dia telah ikhlas memaafkan Abu Dzar.
Kalau kita meminta maaf karena kesalahan kita, itu adalah wajar. Tetapi kalau memaafkan kesalahan orang lain itu butuh perjuangan yang luar biasa. Karena ego dalam diri kita akan ikut bermain untuk menolak memberi maaf.



No comments: