Sunday, February 10, 2008

Alhamdulillah...

Dalam sebuah pertemuan rutin pekanan, salah seorang kawanku yang baru saja menyempurnakan setengah diennya dengan melangsungkan pernikahan bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Dia bercerita bahwa dia sangat kurang sreg dengan isteri yang dia dapatkan. Alasannya, karena sang isteri tidak masuk dalam criteria dambaannya. Dalam ceritanya, dia menginginkan sosok seorang isteri yang cantik jelita, indah dipandang dan tidak membosankan. Baik ibadahnya, tutur katanya, dan sopan santunnya. Serta sosok seorang istri yang bisa mandiri tatkala sang suami tidak ada di rumah. Namun, tidak semua criteria ada di dalam diri isterinya.
Aku yang mendengarkan tidak menyalahkan kriteria yang dibuat temanku ketika dia mencari pendamping hidup. Namun, sikap kecewa terhadap jodoh yang diberikan Allah SWT itu yang aku permasalahkan. Aku teringat dengan ucapan seorang kawan, “mas, kita boleh saja menginginkan sosok wanita pendamping hidup kita memiliki wajah yang cantik, baik budinya, baik ibadahnya, taat kepada suami, kaya dan memiliki kedudukan seperti Ummul Mu’minin Khadijah dan Aisyah. Tapi mas… kita juga harus sadar bahwa kita bukanlah Muhammad yang memiliki kesempurnaan akhlaq…”.
Yup! Benar apa yang disampaikan kawanku tadi, mempunyai criteria dalam memilih calon pendamping adalah hak asasi manusia yang artinya setiap manusia memiliki hak untuk melakukannya. Tetapi yang harus diingat dan disadari adalah apakah kriteria yang kita inginkan sama kualitasnya dengan yang ada dalam diri kita. Ingat lho… kita bukan baginda besar nabi Muhammad Saw, kita hanya sosok manusia biasa. Karena kita sosok manusia biasa bukan Muhammad Saw, maka standar atau kriteria calon pendamping kita juga harus distandarisasi sesuai dengan diri kita. Boleh kita mencantumkan kriteria seperti yang ada dalam diri Khadijah ataupun yang ada dalam diri Aisyah. Tapi kalau dapatnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan jangan berkecil hati ataupun kecewa, toh… kita kan masih jauh di bawah nabi Muhammad Saw.
Selintas aku teringat cerita seorang ustadz yang bercerita bagaimana dia menjalani kehidupan rumah tangganya. Beliau menceritakan proses demi proses yang dia jalani mulai dari masa ta’aruf, khitbah, walimah bahkan sampai masa-masa dimana beliau mengarungi pernikahan bersama istrinya. Beliau menceritakan bagaimana ujian yang berat beliau hadapi ketika masuk dalam tahap ta’aruf. Dalam proses ta’aruf beliau merasa kurang merasa sreg dengan calonnya. Tapi dia tidak langsung menjawab iya atau tidak dalam proses tersebut, dia kembalikan semuanya kepada Allah agar diberikan yang terbaik. Keputusan final yang didapat adalah dia meneruskan proses dengan calon tersebut. Dan jawaban yang diberikan Allah kepadanya untuk terus dalam prosesny, dia rasakan sebagai jawaban yang terbaik karena dia merasa sangat cocok dengan calon tersebut yang sekarang menjadi isterinya.
Ustadz tersebut memberikan kunci atau tips mengapa dia bisa mengarungi pernikahannya dengan bahagia walau diawal dia merasa kurang sreg dengan calonnya. Tips yang diberikan adalah untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita, itu saja. Beliau menambahkan kalau kita sudah mensyukuri satu nikmat yang Allah berikan kepada kita nisya nikmat-nikmat yang lain juga akan diberikan kepada kita. Tetapi, kalau diawal kita sudah tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita maka Allah akan menutup nikmat-nikmat-Nya yang lain.
So… bagi anda yang tengah merencanakan untuk menyempurnakan setengah dien, pahami bahwa anda bukanlah Muhammad Saw dan juga bukan Khadijah ataupun Aisyah. jadi jangan terlalu tinggi dalam membuat standar untuk calon pasangan anda. Kita ini manusia biasa dan tidaklah sempurna, tetapi dengan ketidaksempurnaan ini semuanya bisa menjadi indah kalau kita bisa mensyukurinya.

Read More......

Saturday, May 26, 2007

Model Keluarga Muslim

Saudaraku, keinginan berkeluarga (nikah) adalah fithrah yang dimiliki oleh setiap anak Adam, baik pria maupun wanita. pernikahan merupakan gerbang utama bagi anak Adam untuk bisa mencurahkan kasih dan sayangnya, mencurahkan keluh dan kesahnya dan saling berbagi satu sama lain. Dengan pernikahan ini akan tertutup kekurangan satu dengan yang lain dan sebagai langkah awal sebuah proses pembentukan generasi selanjutnya.
Islam sebagai agama fithrah tidak menutup mata akan hal tersebut. Bahkan, Rasulullah menjadikan nikah sebagai sunnahnya sebagaimana hadits Rasul ” Nikah adalah sunnah ku, barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukan termasuk golonganku.” subhanallah... demikian tegasnya Rasulullah dalam hadits tersebut yang mengindikasikan bahwa sebuah pernikahan adalah hal yang sakral. Namun saudaraku, akhir – akhir ini kita banyak menemukan potret pernikahan yang kandas di tengah jalan hanya masalah yang tidak syar’i. Bahkan tak jarang kita menemukan pergeseran makna pernikahan yang sakral ke arah sebuah kegiatan yang biasa saja.

Sebagai seorang muslim hendaknya kita memahami ma’na dibalik pernikahan. Imam Hasan al banna dalam taujihnya kepada para Ikhwan di suatu acara muqayyam mengatakan “ Bagi kita (umat Islam), pernikahan adalah sebuah sarana membentuk umat da’wah yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kejahatan.”
Agar tercipata umat da’wah tentunya kita harus memformat model keluarga yang akan atau yang telah terbentuk menjadi model keluarga yang islami. Berikut ini beberapa tips dari berbagai sumber bagi Anda semua, mudah – mudahan menjadi ibrah bagi kitasemua.


Ketika akan menikah
Bagi sang pria, janganlah mencari Isteri, tetapi carilah seorang Ibu bagi anak – anak kita. Dan bagi sang wanita, janganlah mencari seorang suami tetapi carilah seorang Ayah bagi anak – anak kita.

Saudaraku, ketika kita mencari suami atau isteri, naluri manusia kita akan bermain dan cenderung egois. Kita pasti menginginkan pasangan yang cantik/ tampan, kaya, berkedudukan atau titel manusia lainnya. Akhirnya kita lupa bahwa pasangan yang kita pilih nantinya akan banyak berinteraksi dengan anak kita. Maka bagi Anda yang pria, carilah seorang wanita yang memiliki figur seorang Ibu, betanggung jawab, telaten, cekatan dan solihah. Dan bagi Anda yang wanita, carilah figur seorang Ayah, bertanggung jawab, imam bagi keluarga, dan shalih.

Ketika melamar
Anda bukan sedang meminta kepada orang tua/ wali si gadis, tetapi meminta kepada Allah melalui orang tua/ wali si gadis.

Saudaraku, sesungguhnya yang memiliki jiwa dan raga ini hakikatnya adalah Allah SWT. Hendaknya kita memohon kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam proses ini.
Bukankah Allah telah berjanji kepada kita bahwa Allah senantiasa mengabulkan do’a hamba-Nya sebagaimana yang tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 186:
”Dan apabila hamba – hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Ketika akad nikah
Anda berdua bukan menikah di hadapan penghulu, tetapi menikah di hadapan Allah.

Saudaraku, sesungguhnya ketika kedua insan mengikat janji, Allah dan para malaikat turut menyaksikan bersama para undangan yang hadir. Ketika kita sadar bahwa Allah dan malaikat-Nya turut menyaksikan, hendaknya kita menjaga pemandangan yang tidak sesuai dengan syariat. Seperti terbukanya kesempatan terjadinya pembauran (ikhtilat) ikwan dan akhwat, prosesi akad yang menghadirkan pengantin wanita dan pria dengan duduk berdekatan padahal mereka belum menjadi muhrim.
Saudaraku, sesungguhnya Allah dan orang – orang muslim cemburu (kecewa) ketika menyaksikan orang muslim lainnya berbuat maksiat. Jadi apakah kita mau menanam benih permusuhan dengan Allah dan orang – orang muslim lantaran perbuatan yang tidak ada dasarnya?.


Ketika resepsi
Catat semua tamu yang datang dan mendoakan anda. Karena anda harus berfikir untuk mengundang mereka semua dan meminta maaf apabila anda berfikir untuk bercerai karena menyia – nyiakan do’a mereka.

Saudaraku, sesungguhnya setiap tamu yang datang senantiasa mendoakan dan mengharapkan keberkahan atas pernikahan tersebut. Mereka senantiasa berharap pernikahan tersebut terjalin sampai kedua pengantin menjadi nenek dan kakek. Ketika suatu waktu Anda berniat untuk bercerai, sesungguhnya Anda telah menyakiti hati mereka dan Anda harus meminta maaf atas perbuatan tersebut kepada mereka semua.

Ketika malam pertama
Bersyukur dan bersabarlah, Anda adalah sepasang anak manusia dan bukan sepasang malaikat.

Ketika proses resepsi selesai dan Anda berdua menuju malam pertama, hendaknya Anda berdua membersihkan diri dan melakukan shalat sunnat dua rakaat sebagai ungkapan syuikur kepada Allah,dengan suami sebagai imam dan isteri sebagai ma’mum.
Dan yang paling penting, sesungguhnya Anda dan pasangan anda adalah sepasang anak manusia yang memiliki sisi kelebihan dan kekurangan, dan Anda berdua bukanlah sepasang malaikat. Maka jadikan sabar sebagai langkah awal membina keluarga.


Selama menempuh hidup berkeluarga
Sadarilah bahwa jalan yang akan dilalui tidak melalui jalan bertabur bunga, tapi juga semak belukar yang penuh onak dan duri.

Buang jauh – jauh pikiran bahwa perjalanan berkeluarga seperti melewati taman bunga yang harum mewangi. Anda harus sadari dalam taman bunga yang harum mewangi ada bunga yang memiliki duri yang tajam dan onak yang senantiasa menanti.

Ketika biduk rumah tangga oleng
Jangan saling berlepas tangan,tapi sebaliknya justeru semakin erat berpegang tangan.


Ketika belum memiliki anak
Cintailah suami atau isteri anda 100%

Ketika telah memiliki anak
Jangan bagi cinta anda kepada suami/ isteri dan anak anda, tetapi cintailah isteri atau suami anda 100% dan cintai anak – anak anda masing – masing 100%

Ketika ekonomi belum membaik
Yakinlah bahwa pintu rizki akan terbuka lebar berbanding lurus dengan tingkat ketaatan suami dan isteri.

Ketika ekonomi membaik
Jangan lupa akan jasa pasangan hidup yang setia mendampingi kita semasa menderita.

Ketika anda adalah suami
Boleh bermanja – manja kepada isteri tetapi jangan lupa untuk bangkit secara bertanggung jawab apabila isteri membutuhkan pertolongan anda.

Ketika anda adalah isteri
Tetaplah berjalan dengan gemulai dan lemah lembut, tetapi selalu berhasil menyelesaikan semua pekerjaan.

Ketika mendidik anak
Jangan pernah berpikir bahwa orang tua yang baik adalah orang tua yang tidak pernah marah kepada anak, karena orang tua yang baik adalah orang tua yang jujur kepada anak.
Ketika anak bermasalah
Yakinilah bahwa tidak ada seorang anakpun yang tidak mau bekerja sama dengan orang tua, yang ada hanya adalah anak yang merasa tidak didengar oleh orang tuanya.

Ketika ada PIL
Jangan diminum, cukuplah suami sebagai obat.

Ketika ada wil
Jangan dituruti, cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati.

Ketika memilih potret keluarga
Pilihlah potret keluarga sekolah yang berada dalam proses pertumbuhan menuju keluarga masjid.

Ketika ingin langgeng dan harmonis
Gunakanlah formula 6 K
1. Ketaqwaan
2. Kasih sayang
3. Kesetiaan
4. Komunikasi dialogis
5. Keterbukaan
6. kejujuran



Read More......

Islam dan Sains

Islam agama yang Universal
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui Rasul-Nya Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul penutup atas kenabian sebelumnya. Islam hadir ke tengah – tengah umat manusia yang waktu itu sangat membutuhkan pegangan hidup dan alat kontrol bagi diri mereka. Islam hadir dalam kerangka universalisme yang mengandung pengertian bahwa Islam dapat sesuai dengan semua karakteristik orang di setiap tempat dan waktu.
Pandangan akan universalnya Islam sejalan dengan ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa risalah sebagai rahmat bagi semesta alam (Q.S. 21: 107). Argumen - argumen dan dasar - dasar tentang ide universalisme Islam baik secara historis, sosiologis maupun substansi ajarannya dapat dilihat dari beberapa sisi.
Pertama, pengertian Islam itu sendiri yang mengandung makna kepasrahan kepada sang pencipta, Allah SWT. Suatu sikap yang dahulu pernah diajarkan oleh Rasul - Rasul pendahulu Nabi Muhammad kepada ummatnya, dan oleh Nabi Muhammad kelanjutan dan penyempurnaan ajaran tersebut diteruskan di bawah bendera din Al Islam (agama yang mengajarkan ketundukan, kepatuhan atau ketaatan sebagai sikap pasrah kepada Tuhan dan sebagai agama yang universal).
Kedua, merupakan suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mempengaruhi hati dan pikiran berbagai ras, bangsa dan suku dengan kawasan wilayah yang cukup luas hampir meliputi semua ciri klimatologis dan geografis. Ia bebas dari klaim – klaim eksklusivitas dan linguistis (Nurcholis Madjid dalam Universalisme Islam)). Karena kemajemukan tersebut dalam dataran teologis, dipandang sebagai “pertanda kebesaran Tuhan (ayat Allah) (Q.S.30:22).
Ketiga, ajaran Islam sangat dekat dan menyentuh aspek aspek kemanusiaan. Karenanya Islam ada bersama manusia tanpa pembatasan ruang dan waktu. (Nurcholish Madjid 1992:426). Karena itu pula Islam hadir untuk mengisi hati dan akal manusia, keduanya adalah unsur yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia.
Keempat, karakteristik dan kualitas dasar – dasar yang dimiliki oleh ajaran Islam itu sendiri. Karakteristik dan nilai nilai ajaran Islam yang mengandung nilai - nilai universal dikarenakan ajaran Islam sangat erat kaitannya dengan tauhid, etika dan moral, bentuk dan sistem pemerintahan, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, sains, lingkungan hidup dan sebagainya. Pada tulisan ini akan dianalisis salah satu apek yang menegaskan akan universalnya Islam yaitu aspek sains dalam kaitannya dengan ajaran Islam dan pandangan Islam itu sendiri tentang sains.

Sains dalam pandangan Islam
Sains atau ilmu murni merupakan buah dari pemikiran manusia tentang segala sesuatu yang ia lihat, raba, dengar, rasa dan kecap. Sebuah pemikiran yang terlahir dari rasa kuriositas (ingin tahu) yang tinggi akan sesuatu hal. Rasa kuriositas ini muncul ketika seorang manusia merasa ada sesuatu yang baru, aneh dan menarik dalam alam pikirannya lalu dikembangkan sebagai sesuatu hal yang bisa berguna untuk menunjang kehidupannya.
Rasa kuriositas ini merupakan fitrah yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Dan Islam sebagai agama yang universal dan memiliki karakteristik sesuai dengan fitrah manusia sangat memahami hal ini. Islam tidak pernah mengekang fitrah manusia dengan membuat batasan - batasan tertentu.
Terkait dengan masalah sains, dalam Kitabullah Al Qur’anul Karim terlihat jelas bahwa tidak ada satupun ayat yang mengekang fitrah manusia untuk berpikir dan mengembangkan pola pikirnya. Bahkan Allah SWT dalam Al Qur’an telah mengajak manusia untuk bisa mengembangkan dan mengerti tentang sains itu sendiri (Q.S. 45: 13) dan (Q.S. 35:28).
Islam tidaklah seperti agama yang lain, yang mengekang fitrah manusia untuk bisa mengembangkan pemikirannya. Islam tidaklah sekaku agama katolik yang memberikan hukuman mati kepada ilmuwannya ketika mereka berhasil mengembangkan pemikirannya yang menurut para ahli agamanya tidak sesuai dengan kitab yang mereka buat. Islam sangat kooperatif terhadap hal ini, asalkan buah pemikiran manusia tersebut bisa mendatangkan kebaikan dan bisa mendekatkan manusia kepada Tuhannya.
Ibnu Rajab dan ulama lainnya mendefinisikan,”… segala sesuatu atau jalan apapun yang dapat mewujudkan keadilan (kebenaran) maka ia bagian dari agama.”

Sumbangsih Islam terhadap Sains
Islam sebagai agama yang universal dan sebagai agama yang menitik beratkan pada fitrah manusia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia. Salah satu yang menjadi perhatian dalam ajaran Islam adalah tentang sains itu sendiri. Islam memandang bahwa dengan sains lah suatu umat bisa mengangkat derajat dan kehormatannya sendiri, dengan sainslah alam semesta ini bisa didayagunakan dengan optimal dan dengan sainslah suatu umat bisa mengenal siapa Tuhannya.
Bagi Islam, sikap terhadap sains sudah sangat jelas. Tak ada yang lebih jelas daripada hadits Nabi yang sangat terkenal. “tuntutlah ilmu walaupun ke negeri cina” atau hadits yang lain yang maksudnya : mencari ilmu adalah wajib bagi seorang muslim bagi laki laki maupun perempuan. Bukanlah tanpa alasan Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk pergi ke cina, karena pada waktu itu negeri cina sudah mulai maju akan peradaban. Dan ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak ingin ummatnya ketinggalan dalam hal sains karena beliau melihat akan pentingnya sains itu sendiri.
Dari dua hadits tersebut telah jelas bahwasanya Islam melalui sabda Nabinya telah memerintahkan kepada umat manusia untuk menuntut ilmu setinggi - tingginya dan mengembangkan ilmu tersebut. Walaupun Al Qur’an bukanlah sebuah buku ilmu pengetahuan melaikan sebuah pedoman hidup, tetapi hampir sebagian besar ayat dalam Al Qur’an mengajak manusia untuk memikirkan akan fenomena alam.
Atas dorongan hadits dan ayat ayat Al Qur’an tentang pentingnya memikirkan alam semesta ini, pada abad ke VIII dan abad ke XII Masehi umat Islam mengalami kemajuan yang sangat spektakuler dalam perkembangan sains. Semua pemikiran baik sains maupun yang lainnya berkiblat kepada Islam. Pada waktu itu di Cordoba (Qurtubah) terdapat sebuah perpustakaan yang koleksi bukunya mencapai 400.000 buku. Dan banyak para pelajar dari barat yang merasa terkekang akan pola dan sistem agama mereka belajar dan menimba ilmu di sana.
Berkat Islam dengan melalui cendekianya lah peradaban umat manusia berubah 180 derajat dengan mengalami kemajuan yang sangat berarti. Sampai sekarang sumbangsih - sumbangsih para pemikir Islam masih terasa, sebagai contoh perkembangan dalam ilmu matematika banyak dipengaruhi oleh ilmuwan muslim. Metode al Jabar ditemukan oleh Muhammad bin Musa Al Khawarizmi, dan penemuan angka “nol” oleh Muhammad bin Ahmad. Pada bidang fisika tercatat nama Hassan Ali Haitan seorang penemu pengetahuan akan optik. Pada bidang kimia tercatat nama Abu Bakar Zakariah Al Razi, seorang penemu yang menjelaskan pembuatan asam belerang dan alkohol dengan cara menyuling zat tepung atau gula yang meragi.
Pada ilmu kedokteran tercatat nama Ibnu Sina yang di barat terkenal dengan nama Avicena. Beliaulah yang meletakkan dasar dasar pengobatan yang sampai sekarang buah pemikiranya masih diterapkan dalam dunia kedokteran. Masih banyak lagi sumbangsih Islam melalui para cendekianya bagi peradaban ummat manusia yang semuanya telah menorehkan tinta emas dalam sejarah dan telah membuat dunia menjadi dinamis.

Khatimah
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin mempertegas bahwasanya ajaran Islam sangat sesuai dengan jiwa dan pola pikir manusia. Karena karakteristik tersebut, agama Islam akan tetap bisa diterima oleh manusia di setiap tempat dan zaman. Ajaran Islam sangatlah proaktif terhadap hal – hal yang bisa mendatangkan manfaat bagi manusia terutama untuk mengembang rasa kuriositas pada sains. Islam tidak membatasi ummatnya dalam hal memikirkan alam semesta ini asalkan buah dari pemikiran tersebut bisa dipertanggungjawabkan.


Read More......

Birrul Walidain

“ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah – tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (Q.S. Luqman:14)

Saudaraku, Luqman al hakim, seorang hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya memberikan nasihat yang begitu indah kepada anaknya. Nasihat tersebut Allah abadikan dalam Al Qur’an sebagai renungan, pelajaran dan hikmah bagi manusia. Luqman menasihati anaknya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya, hal ini selaras dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada anak manusia.
Dalam nasihat tersebut, Luqman menggambarkan bagaimana besarnya perjuangan seorang ibu dalam mempertahankan kandungannya. Dia lukiskan bagaimana lemahnya seorang ibu dalam mengandung buah hatinya. Bahkan dalam beberapa kisah disebutkan ketika seorang ibu melahirkan buah hatinya, sesungguhnya dia tengah bertarung antara hidup dan mati.. Subhanallah demikian besarnya perjuangan seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan buah hatinya..
Saudaraku, pernah kah kita sesaat saja merenungkan proses kelahiran kita? Pernahkah kita sesaat saja merenungkan bagaimana perih dan getirnya seorang ibu mengandung, melahirkan dan mengasuh kita? Saudaraku, kalau kita bisa meluangkan sesaat saja dari waktu kita untuk merenungkan hal tersebut, Insya Allah dalam diri kita akan timbul gejolak untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita sebagai ungkapan rasa syukur kita..
Saudaraku, mari kita simak beberapa cara berbuat baik kepada orang tua kita yang berasal dari Al Qur’an dan hadits serta kisah telada lainnya...

1. lembutkan dan rendahkan hati
Dari sinilah bakti kita terhadap orang tua kita mulai. Dengan kelembutan dan kerendahan hati didepan kedua orang tua kita akan terpancar bakti yang lainnya. Tidak mungkin ditutupi, jika hati ini ikhlas, ridha, sayang sepenuhnya, tidak merasa terpaksa ketika melaksanakan perintahnya, tidak marah – marah sendiri ketika membimbing tangan orang tua kita ketika mereka sakit, tidak merasa lelah hati ketika sudah sekian lama harus meladeni beliau yang tergolek di atas tempat tidur.
Allah SWT dengan sangat indahnya menyuruh kita untuk berbakti kepada orang tua kita, sebagaimana firmannya “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (Al Isra:24).
Seorang ulama besar Said bin Musayyib membantu kita menterjemahkan kata merendahkan diri. Kata beliau, “Ini adalah ungkapan sayang dan kerendahan sepenuhnya. Seperti rasa rendahnya rakyat di hadapan penguasa dan rendahnya budak kepada majikannya.”. lebih terperinci lagi Hasan bin Ali menjawab pertanyaan tentang durhaka kepada orang tua, “ Pelit kepada keduanya, mengabaikannya dan memandang keduanya dengan pandangan tajam.”
Hati ini harus lembut dan lebih diperlembut lagi dihadapan kedua orang tua. Tidak boleh ada sumpah serapah walau hanya dalam hati.

2. Ucapan yang baik
Saudaraku, Al Qur’an mengingatkan kita tentang masalah ini, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah klamu mengatakan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia.” (Al Isra:23)
Kala masa tua tiba, mereka hanya menitipkan sedikit sisa usianya pada kita. Agar kita merawat keduanya sebentar saja, mengantar hingga liang lahat yang boleh jadi sudah dekat dipelupuk mata. Kata kata kita harus benar benar pilihan.
Kata “ah” boleh jadi sangatlah sederhana jika diucapkan untuk orang lain. Tapi tidak jika diucapkan untuk orang tua kita. Karena hakekatnya bukan pada dua huruf tersebut yang nampak tidak bermakna itu, tetapi ungkapan hati dibaliknya, rasa sakit hati dan kecewa dari orang tua adalah sebab murka Allah SWT.
Hasan bin Ali kembali mengajarkan pada kita bagaimana berkata baik itu. “ Panggillah mereka dengan panggilan ayah, bunda dan jangan memanggil dengan namanya.” Katanya.
Dalam musnad ibu Mardawaih diriwayatkan seseorang datang pada Rasulullah berrsama bapak tua. Rasul bertanya,”Siapa yang bersamamu ini?” dia menjawab, “Ayahku.” Rasul kemudian mengajarkan adab, “jangan berjalan di depannya, jangan duduk sebelumnya, jangan memanggil namanya dan jangan mencelanya.”

3. Ringankan beban keduanya
Saudaraku, Ayah dan ibu kita tidak pernah mengharapkan balas budi dari anak anaknya. Ketulusan dan keikhlasan senantiasa terpancar dari raut muka mereka, tetapi adalah tugas kita untuk meringankan segala beban kedua orang tua kita.
Dalam sebuah riwayat yang ditulis Ibnu Katsir, bahwasannya dipelataran kabah terdapat seorang pemuda yang sedang thawaf dengan menggendong ibunya. Selesai putaran thawaf, orang itu menemui Rasulullah sambil bertanya, “Ya Rasulullah apakah berarti aku telah memberikan hak ibuku?” Rasul menjawab seketika itu, “ tidak, bahkan seujung kuku pun tidak.”
Tidak seujung kuku? Sungguh, kalau pun seluruh kemampuan kita berikan untuk orang tua, tidak terbalas setetes air susu ibu. Sungguh, kalaupun siang malam kita haturkan hidup kita untuk keduanya tidak bisa membeli setitik keringat ayah.

4. Ketika keduanya telah tiada
Saudaraku, mungkin diantara kita, menjelang hari mendekati hilal syawal tiba, sudah tidak ada lagi tangan orang tua yang bisa kita cium dan rangkul. Meski hanya tinggal sejuta kenangan, namun bakti pada keduanya tidak boleh putus. Seluruh kekehidupan dunia terputus dengan kematian. Tetapi tidak untuk hubungan anak dan orang tua. Kita adalah harapan orang tua di kegelapan kubur dan kesendiriannya.
Malik bin Rabia’ah bercerita, “ketika saya sedang duduk I samping Nabi, seseorang dari Anshor datang dan berkata, “ Ya Rasulullah apakah masih tersisa tugas dan bakti pada orang tua yang telah tiada?” Rasul menjawab, “ Ya, ada empat hal yang harus kamu lakukan. Mensholati ketika beliau meninggal, memohonkan ampun bagi keduanya, melaksanakan janjinya, menghormati teman teman beliau serta silahturahim pada kerabat keduanya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Kita patut memohonkan ampun untuk meringankan beban mereka dia alam kuburnya. Selepas sholat, semestinya ada selipan permohonan agar Allah meringankan beban dosa keduanya. Agar mereka beristirahat dengan tenang. Kita mesti menunaikan janji dan keinginan mereka yang belum terkabul. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “ Ya Rasulullah, sebelum ibuku meninggal beliau memberiku isyarat, kalau saja beliau bisa bicara, pasti beliau ingin memerintahkan aku atas nama beliau. Apakah aku bersedekah atas nama beliau?” “ya”, jawab Nabi.
Janganlah pula melupakan silahturahim dengan kerabat ayah ibu. Agar tidak terputus hubungan kekelurgaan sepeninggal beliau. Demikianla, kita selayaknya tidak pernah berhenti berbakti, walau mereka telah lebih dahulu berpulang.
5. Doa’kan Mereka
Saudaraku, anak sholeh yang mendo’akan. Itulah asset orang tua yang diharapkan bisa dipetik ketika mereka berdua telah tiada. Do’a kita untuk orang tua selayaknya mengalir jernih dan tidak boleh terputus. Dengan kesadaran hati dan ketulusan.
Al Qur’an menguntaikan do’a agar terus kita baca, “ Dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, Kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (Al Isra : 24). Nabi Nuh pun mengajarkan sebuah do’a kepada kita, “ Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu – bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang beriman laki laki atau perempuan (Nuh :28)

(Wallahu a’lam)

Read More......

Bilal bin Rabah

Kisah ini bermula dari pertemuan antara Bilal dengan Abu Dzar di sebuah lorong di kota Mekah. Ketika itu Bilal sedang berkeliling menyusuri jalan di kota mekah, kemudian bertemu dengan Abu Dzar. Ketika bertemu, Abu Dzar memanggil Bilal dengan berkata: “Ya Ibnul aswad...! (wahai anak hitam)”. Mendengar panggilan dari Abu Dzar tidak lantas Bilal langsung menjawab atau menoleh ke arah Abu Dzar. Tetapi yang dilakukan Bilal bin Rabah hanya terdiam dan tertunduk.
Setelah kejadian tersebut Bilal langsung menemui Rasulullah di rumah. Sesampainya di rumah Rasul, Bilal mengetuk pintu dan mengucapkan salam : “Assalamu’alaikum ya Rasulullah...”. Rasul yang mendengar ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Rasul pun membalas salam tersebut dan mempersilahkan masuk. Ketika bilal masuk dan dipersilahkan duduk oleh Rasul, Rasul heran melihat raut wajah bilal yang lain dari biasanya karena beliau melihat wajah kesedihan. Melihat itu, Rasul pun bertanya: “apa yang menyebabkan engkau terlihat tampak sedih wahai bilal...”. bilal pun menjawab: “Ya Rasul... sebelum saya ke rumah Anda, saya bertemu dengan sahabat Abu Dzar. Ketika kami bertemu, Abu Dzar memenggil saya dengan panggilan : “Ya Ibnul Aswad...!” saya sadar ya Rasul, bahwa saya ini hitam. Saya juga sadar bahwa kedua orang tua saya juga hitam. Dan saya juga sadar bahwa saya berasal dari daerah yang mayoritas penduduknya adalah berkulit hitam. Tetapi sungguh ya Rosul, saya tidak ingin dipanggil seperti itu”.
Rasul yang mendengar cerita tersebut mengerti mengapa Bilal tampak sedih. Maka Rasul berkata: “ Wahai Bilal, cari Abu Dzar dan katakan bahwa Rasulullah ingin bertemu dengannya”. Mendengar itu, bilal pun mencari Abu Dzar dan mengabari pesan dari rasul. Setelah mendengar kabar dari Bilal, Abu Dzar langsung ke rumah Rasul untuk memenuhi panggilannya. Sesampainya di rumah Rasul, Abu dzar mengetuk pintu dan memberi salam dan dijawab oleh Rasul. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk oleh Rasul, Rasul pun bertanya ;” Wahai Abu Dzar, apa benar engkau tadi bertemu dengan Bilal?, “Benar ya Rasul”, Kata Abu Dzar. “Apa Benar engkau memangginya denga Ibnul Aswad...?, “Benar Ya Rasul” kata Abu Dzar. Rasul pun lantas berkata “ Sesungguhnya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah, dan sekarang minta maaflah kepada Bilal karena saat ini dia sedang sakit hati karena ucapanmu”.
Setelah dialog tersebut, Abu Dzar langsung memenuhi perintah dari Rasul. Dicarinya Bilal oleh Abu Dzar dan ternyata ada di rumahnya. Abu dzar memeberikan salam dan di balas oleh Bilal. Abu Dzar pun lantas meminta maaf kepada Bilal sambil mengatakan, “ Sebagai ganti atas penghinaan yang aku lakukan kepadamu, maka injaklah kepalaku sebagai ganti atas penghinaanku”. Mendengar itu, bilal berkata “ Wahai sahabatku, mana mungkin aku berani menginjak kepala seorang hamba yang senantiasa bersujud kepada Tuhannya.”

Hikmah
Jaga Lisan (Hifzhul Lisan)
Allah ketika memberikan kepada kita Nikmat kemampuan berbicara, memiliki 2 tujuan. Yaitu sebagai nikmat dan ujian kepada kita. Untuk itu hendaknya kita jaga nikmat tersebut dengan menggunakan sebaik-baiknya dengan cara berdzikir kepada Allah dengan cara membaca ayat ayatnya, baik qauliyah maupun kauniyah. Dan juga kita gunakan untuk berkata yang baik. Allah SWT sangat melarang kita untuk berkata yang tidak baik atau bahkan menggunakan lisan kita untuk menghina orang lain.
Dalam surat Al Hujurat ayat 11 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Dalam cerita di atas, rasul pun juga keras mengingatkan Abu Dzar ketika tahu bahwa abu Dzar telah menghina Bilal dengan mengatakan “ Sesungguhnya di dalam dirimu ada sifat jahiliyah”. Mungkin maksud dari Abu Dzar untuk mengakrabkan diri dengan Bilal namun, kenyataannya bukanlah keakraban yang didapat tetapi sakit hati bilal yang didapat.
Kita mungkin sering melakukan seperti yang dilakukan oleh Abu Dzar, kita mungkin sering menganggap apa yang kita lakukan untuk mengakrabkan diri dengan kawan kita. Memang kelihatan secara fisik kita akrab dengan kawan kita tetapi sengguhnya ikatan persahabatan yang didasari ikatan hati tidaklah terbentuk. Malah yang terbentuk adalah sebuah persahabatan yang semu, yang kalau kita lagi senang dan berada di puncak kejayaan, teman kan sayang Tetapi kalau kita susah dan jatuh bangkrut, kita dibuang. Untuk itu mari kita renungi hadits berikut: ” Barang siapa yang beriman kepada hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”.



Ketaatan kepada rasul
Dalam cerita tersebut ada ketaatan seorang Abu dzar yang bisa kita tiru. Ketaaatan tersebut bisa kita tiru dalam dialog antara Abu dzar dan Rasul. Dalam cerita tersebut Rasul bertanya:” Wahai Abu Dzar, apa benar engkau tadi bertemu dengan Bilal?, “Benar ya Rasul”, Kata Abu Dzar. “Apa Benar engkau memangginya denga Ibnul Aswad...?, “Benar Ya Rasul” kata Abu Dzar. Rasul pun lantas berkata “ Sesungguhnya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah, dan sekarang minta maaflah kepada Bilal karena saat ini dia sedang sakit hati karena ucapanmu”.
Mendengar ucapan dan perintah rasul, Abu Dzar tidak menjawab dengan memberikan alasan alasan klasik, tetapi yang dilakukan Abu dzar hanya Sami’na Wa Ato’na (mendengar dan taat). Inilah keistimewaan generasi para sahabat, mereka sangat taat kepada rasulnya. Karena ketaatan dan keimanan mereka, Allah sampai memuji mereka dengan menurunkan suatu ayat yaitu dalam surat Ali imron ayat 110:


Keikhlasan
Dalam cerita tersebut ada unsur keikhlasan, ikhlas untuk meminta maaf d an ikhlas untuk memberi maaf. Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang sangat sulit dilakukan ketika dua pihak berseteru. Hal ini dikarenakan ego yang ada dalam diri mereka. Dalam cerita tersebut bagaimana kita saksikan keikhlasan Abu Dzar untuk meminta maaf dan keikhlasan Bilal untuk memaafkan. Ikhlasnya Bilal terlihat dari ucapan bilal ketika dipersilahkan oleh abu dzar untukj menginjak kepalanya. Tetapi yang dilakukan Bilal hanya berkata: “Wahai sahabatku, mana mungkin aku berani menginjak kepala seorang hamba yang senantiasa bersujud kepada Tuhannya.”
Subhanallah... seandainya bilal mau menginjak kepala Abu dzar, tentu dia bisa dengan mudah menginjaknya, tetapi yang dilakukan bilal tidak mau menginjak kepala Abu Dzar karena dia telah ikhlas memaafkan Abu Dzar.
Kalau kita meminta maaf karena kesalahan kita, itu adalah wajar. Tetapi kalau memaafkan kesalahan orang lain itu butuh perjuangan yang luar biasa. Karena ego dalam diri kita akan ikut bermain untuk menolak memberi maaf.



Read More......

Friday, May 25, 2007

Penyumbat Rezeki

Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.
Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.
Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.
Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.
Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. “Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya…” semangat Hardi berapi-api.
Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.
Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.
Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. “Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu…?” tanya sang guru.
Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu…”
“Astaghfirullah…. “ Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “Semoga masih ada warung itu…”
Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.
“Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.
Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.
Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.
Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.
Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, “Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita…”.
***
Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Gaw)
Oleh: Bayu Gawtama

Read More......

Saturday, May 19, 2007

Senyum Dong…


“Senyum Dong… Sus…”, sapa temanku kepada seorang suster ketika kami menjenguk teman kami yang beberapa hari ini dirawat di rumah sakit. Suster yang disapa oleh temanku hanya bisa terdiam dan langsung keluar ruangan. Selepas suster itu keluar, temanku langsung menyambung, “bagaimana orang bisa cepat sembuh yah kalau pelayanannya ga pake senyum…”. Mendengar itu, saya hanya bisa tersenyum dihadapannya dan geleng-geleng kepala. Selepas dari menjenguk teman, saya terus memikirkan ucapan teman saya tadi. Dalam pikiran saya, teman saya salah dalam mengutarakan kritik kepada suster tersebut karena kritikannya disampaikan dihadapan orang banyak. Tapi kritikan teman saya juga ada benarnya yaitu mengingatkan suster tadi untuk memberikan senyuman yang tulus kepada pasiennya.

Mendengar kata senyum, saya teringat pesan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits memberikan arahan kepada umatnya untuk selalu menebarkan senyum kepada sesama dan bahkan senyum, beliau tegaskan sebagai salah satu komponen ibadah. Mengapa demikian? Karena ada begitu banyak manfaat ketika kita membiasakan diri tersenyum dan menebarkan senyum kepada sesama, antara lain:
bagi diri kita, senyum bisa menjadi obat mujarab bagi kita untuk mencegah proses penuaan di wajah kita. Menurut penelitian, ketika kita tersenyum, otot-otot yang ada di wajah kita akan tertarik ke atas sehingga otot wajah menjadi lentur dan akibatnya wajah terlihat berseri-seri. Lain halnya ketika kita cemberut, otot-otot di wajah akan lebih banyak tertarik ke bawah yang mengakibatkan wajah terlihat lebih tua.
bagi orang lain, senyum yang tulus yang keluar dari dalam hati akan membuat orang yang melihatnya akan merasa bahagia dan tenang sehingga proses metabolisme di dalam tubuh orang tersebut akan berjalan lancar. Hal ini disebabkan pasokan oksigen ke seluruh tubuh berjalan dengan baik.
media dakwah yang efektif, bagi anda para aktivis dakwah, jangan pelit memberikan senyum kepada objek da’wah. Da’wah yang penuh kesejukan dan dibarengi senyuman tulus yang berasal dari dalam hati akan mudah diterima dibandingkan dakwah dengan penampilan yang anker dan bermuram durja.

Masih banyak lagi manfaat dari senyum kalau kita praktekan dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun, senyum yang kita lakukan harus proporsional dan niatkan hanya untuk ibadah bukan untuk tebar pesona. Kalau niat dalam hati kita sudah melenceng, yang terjadi bukan manfaat yang kita dapat tetapi mudharat yang kita dapatkan. Bagi anda yang belum terbiasa tersenyum, cobalah tips berikut ini.
latihlah senyum anda didepan cermin sebelum anda melakukannya di hadapan orang lain.
sambil anda tersenyum, cobalah ucapan beberapa kata seperti: Assalamu’alaikum…, Apa Kabar…, Halo… Selamat Pagi…
senyum yang baik adalah senyum yang berlangsung selama + 5 detik, perhatikan berapa lama anda mampu untuk tersenyum. Kurang dari lima detik, orang lain akan memberi kesan, senyum anda adalah senyum sinis. Tapi juga jangan terlalu lama… kalau lama… orang akan mengaggap anda adalah orang aneh bahkan mungkin anda akan dianggap sebagai orang gila.
Untuk anda yang belum juga bisa tersenyum, cobalah terus berlatih. Mari kita budayakan senyum kepada sesama. Jadi…. Senyum don

Read More......